![]() |
Ritual Pompaura: Sesaji diarak warga keliling kampung dan siap dilarung |
oleh: Ince Mohammad Mustaqim Dachlan
Memasuki Bantaya (rumah adat) Sibolo Baraka Kelurahan Kayumalue
Pajeko Sabtu (7/2) malam lalu, suasana dan kesan magis langsung
menyeruak. Sesaat setelah memasuki ruangan
yang hanya berdinding papan itu, mata saya langsung tertumbuk pada
tumpukan sesaji dan sejumlah benda yang saya yakin itu adalah benda
pusaka.
Di hadapan benda pusaka dan sesajian itu, para totua adat Kelurahan Kayumalue Pajeko menembangkan Baliore atau kidung yang dipercaya sebagai nyanyian alam gaib dari tanah Uventira (bagi masyarakat kaili, Uventira dipercaya sebagai perkampungan jin yang berada di pegunungan Kebun Kopi,red).
Alunan kidung itu terus digemakan oleh para to tua yang konon telah dirasuki ruh para leluhur kian mengentalkan aroma mistis upacara Balia yang disebut Pompaura atau upacara untuk menolak segala kesialan dan penyakit.
Di hadapan benda pusaka dan sesajian itu, para totua adat Kelurahan Kayumalue Pajeko menembangkan Baliore atau kidung yang dipercaya sebagai nyanyian alam gaib dari tanah Uventira (bagi masyarakat kaili, Uventira dipercaya sebagai perkampungan jin yang berada di pegunungan Kebun Kopi,red).
Alunan kidung itu terus digemakan oleh para to tua yang konon telah dirasuki ruh para leluhur kian mengentalkan aroma mistis upacara Balia yang disebut Pompaura atau upacara untuk menolak segala kesialan dan penyakit.
![]() |
Salah seorang to Tua Suku Kaili sedang melakukan proses tari Balia di upacara Pompaura |
Kidung itu dipercaya sebagai nyanyian pengiring dari sesaji berupa
beras ketan, ayam dan kepala kambing yang diletakkan dalam sebuah perahu
yang telah dihias sedemikian rupa. Perahu itu nantinya akan dilarung ke
laut saat malam mulai beranjak larut. Sejatinya, upacara malam itu,
adalah rangkaian terakhir dari prosesi Pompaura.
Kesan magis sangat terasa, sejak upacara itu dimulakan. Para To Tua tak henti-hentinya mengalunkan kidung para leluhur. Bahkan saat penulis memasuki bantaya, hampir seluruh tubuh bergidik. Padahal penulis sama sekali tidak mengatahui bila yang dilakukan para to Tua itu adalah prosesi gaib.
Kesan magis sangat terasa, sejak upacara itu dimulakan. Para To Tua tak henti-hentinya mengalunkan kidung para leluhur. Bahkan saat penulis memasuki bantaya, hampir seluruh tubuh bergidik. Padahal penulis sama sekali tidak mengatahui bila yang dilakukan para to Tua itu adalah prosesi gaib.
Pompaura sendiri merupakan upacara adat Kaili yang dilaksanakan
selama tiga hari berturut-turut. Prosesi ini untuk mengusir pengaruh
jahat yang sedang atau yang akan melanda suatu desa. Di hari pertama
pelaksanaan Pompaura, para to Tua adat ‘diharuskan’ membuat beras lima
warna yang disebut Noragi Ose. Masyarakat percaya, dengan beras lima
warna dapat menjadi penangkal kekuatan jahat yang akan menjambangi
kehidupan mereka.
![]() |
Salah satu benda pusaka milik masyarakat adat Kayumalue Pajeko. Sayang, saat ini banyak pusaka yang hilang atau dicuri |
![]() |
Sesajian dan benda pusaka dipayungi payung hitam |
Masyarakat Kaili percaya, beras empat warna itu merupakan perwakilan
dari pelangi yang dipercaya sebagai jembatan para bidadari atau ruh
untuk turun ke bumi. “Kalau orang yang akan bepergian sebaiknya bawa
beras ini, Insya Allah tidak ada gangguan yang menghampiri,” ujar Jido,
ketua dewan Adat Bantaya Sibolo Baraka, kepada Radar Sulteng usai
upacara yang sarat nuansa mistis itu.
Dituturkan Jido, pada prosesi Noragi Ose tidak melibatkan kekuatan magis dari para leluhur. “Beras-beras itu hanya diberi pewarna saja,” ujar pria yang telah berumur 70 tahun ini. Namun kata Jido, beras empat warna itu merupakan simbolisasi dari empat unsur kerajaan gaib, yakni Tanduka Oge (wilayah pantai barat), Lariang, Gumbasa dan Uventira.
Dituturkan Jido, pada prosesi Noragi Ose tidak melibatkan kekuatan magis dari para leluhur. “Beras-beras itu hanya diberi pewarna saja,” ujar pria yang telah berumur 70 tahun ini. Namun kata Jido, beras empat warna itu merupakan simbolisasi dari empat unsur kerajaan gaib, yakni Tanduka Oge (wilayah pantai barat), Lariang, Gumbasa dan Uventira.
![]() |
Manik-manik empat warna simbol kebanggaan masyarakat Kaili |
Sembari sesekali-sekali memperbaiki kopiahnya, Jido menjelaskan, baru
pada hari kedua kekuatan magis dari para leluhur ‘dilibatkan’. “Nah,
hari kedua itu disebut dengan upacara Nopatinda Tavanggayu atau
mendirikan tiang dari tujuh macam kayu,” ungkap Jido yang mengaku sudah
melaksanakan prosesi ini sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Dalam prosesi
ini, tujuh macam kayu itu tak hanya sekadar didirikan.
“Di tempat yang akan ditancapkan kayu itu, terlebih dahulu barang lima rupa yakni Uang logam jaman dulu, Paku, Siri, Telur dan Kemiri ditanam di tempat itu, barulah diletakkan kayu itu,” jelasnya seraya memperlihatkan tiang yang telah tertancap di tengah-tengah Bantaya. Dalam prosesi itu, hampir seluruh To Tua adat kesurupan. Bahkan berdasarkan informasi yang diperoleh, saat prosesi ini dijalankan, sejumlah warga yang menghadiri upacara Nopatinda Tavanggayu ini juga ikut kesurupan ruh leluhur.
Di hari ketiga, yang merupakan upacara pamungkas dari prosesi Pompaura, warga telah menyiapkan sebuah perahu berukuran 1 x 3 meter yang hanya terbuat dari pelepah sagu. Perahu itu dirias sedemikian rupa. Namun yang unik dari perahu itu adalah hiasan berbentuk burung yang terbuat dari janur kelapa yang terpancang mengelilingi perahu itu. “Kalau dalam bahasa kaili itu disebut Tonji atau burung. Dalam upacara ini, Tonji-tonji itu bermakna, media yang akan menyampaikan sesajian ini ke pada ruh jahat, agar ruh itu tidak mengganggu manusia,” jelas Ayah tujuh orang putra ini.
![]() |
Tonji-Tonji (Dalam bahasa Kaili berarti burung) dipinggir perahu sesaji. Burung ini simbol pembawa pesan kepada leluhur |
![]() |
To Tua menyiapkan perahu yang akan dilarung |
![]() |
Sebelum dilarung, para To Tua mendendangkan kidung sembari mengelilingi perahu sesaji |
Sebelum perahu itu dihanyutkan ke laut, para to tua adat ini kembali
menyenandungkan Baliore. Ketika waktu tepat menunjuk pukul 01.00
dinihari, barulah perahu berisi sesaji itu diarak ke laut kemudian di
lepaskan ke sana. “Untuk memilih waktu pelepasan perahu itu ke laut,
juga tidak sembarang. Kita menunggu angin yang mengarah ke arah
Uventira,” tambahnya. Saat perahu itu telah menjauh ke tengah laut, itu
berarti prosesi Pompaura telah selesai dilaksanakan.
![]() |
Kepala kambing di atas perahu sesaji, sebagai salah satu syarat untuk pelaksanaan ritual |
![]() |
Perahu sesaji diarak menuju teluk Palu |
![]() |
Perahu sesaji siap dilarung |
![]() |
Pemimpin to Tua penuntun ritual |
Sayangnya, tradisi semacam ini kerap dimaknai lain. Sebagian orang
menilai tradisi balia merupakan ritual yang mengarah ke musyrikan,
padahal terlepas apakah itu ada kaitannya dengan religi, tradisi semacam
ini harus terus dilestarikan dan bukan dipandang sempit
Location: Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah
No comments:
Post a Comment