Tuesday, January 12, 2016

RITUAL TOLAK BALA POMPAURA: Antara Kultur dan Religi


Ritual Pompaura: Sesaji diarak warga keliling kampung dan siap dilarung

oleh: Ince Mohammad Mustaqim Dachlan

Memasuki Bantaya (rumah adat) Sibolo Baraka Kelurahan Kayumalue Pajeko Sabtu (7/2) malam lalu, suasana dan kesan magis langsung menyeruak. Sesaat setelah memasuki ruangan yang hanya berdinding papan itu, mata saya langsung tertumbuk pada tumpukan sesaji dan sejumlah benda yang saya yakin itu adalah benda pusaka.

Di hadapan benda pusaka dan sesajian itu, para totua adat Kelurahan Kayumalue Pajeko menembangkan Baliore atau kidung yang dipercaya sebagai nyanyian alam gaib dari tanah Uventira (bagi masyarakat kaili, Uventira dipercaya sebagai perkampungan jin yang berada di pegunungan Kebun Kopi,red).

Alunan kidung itu terus digemakan oleh para to tua yang konon telah dirasuki ruh para leluhur kian mengentalkan aroma mistis upacara Balia yang disebut Pompaura atau upacara untuk menolak segala kesialan dan penyakit.
Salah seorang to Tua Suku Kaili sedang melakukan proses tari Balia di upacara Pompaura

Kidung itu dipercaya sebagai nyanyian pengiring dari sesaji berupa beras ketan, ayam dan kepala kambing yang diletakkan dalam sebuah perahu yang telah dihias sedemikian rupa. Perahu itu nantinya akan dilarung ke laut saat malam mulai beranjak larut. Sejatinya, upacara malam itu, adalah rangkaian terakhir dari prosesi Pompaura.

Kesan magis sangat terasa, sejak upacara itu dimulakan. Para To Tua tak henti-hentinya mengalunkan kidung para leluhur. Bahkan saat penulis memasuki bantaya, hampir seluruh tubuh bergidik. Padahal penulis sama sekali tidak mengatahui bila yang dilakukan para to Tua itu adalah prosesi gaib.

Pompaura sendiri merupakan upacara adat Kaili yang dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Prosesi ini untuk mengusir pengaruh jahat yang sedang atau yang akan melanda suatu desa. Di hari pertama pelaksanaan Pompaura, para to Tua adat ‘diharuskan’ membuat beras lima warna yang disebut Noragi Ose. Masyarakat percaya, dengan beras lima warna dapat menjadi penangkal kekuatan jahat yang akan menjambangi kehidupan mereka.

Salah satu benda pusaka milik masyarakat adat Kayumalue Pajeko. Sayang, saat ini banyak pusaka yang hilang atau dicuri
Sesajian dan benda pusaka dipayungi payung hitam

Masyarakat Kaili percaya, beras empat warna itu merupakan perwakilan dari pelangi yang dipercaya sebagai jembatan para bidadari atau ruh untuk turun ke bumi. “Kalau orang yang akan bepergian sebaiknya bawa beras ini, Insya Allah tidak ada gangguan yang menghampiri,” ujar Jido, ketua dewan Adat Bantaya Sibolo Baraka, kepada Radar Sulteng usai upacara yang sarat nuansa mistis itu.

Dituturkan Jido, pada prosesi Noragi Ose tidak melibatkan kekuatan magis dari para leluhur. “Beras-beras itu hanya diberi pewarna saja,” ujar pria yang telah berumur 70 tahun ini. Namun kata Jido, beras empat warna itu merupakan simbolisasi dari empat unsur kerajaan gaib, yakni Tanduka Oge (wilayah pantai barat), Lariang, Gumbasa dan Uventira.
Manik-manik empat warna simbol kebanggaan masyarakat Kaili

Sembari sesekali-sekali memperbaiki kopiahnya, Jido menjelaskan, baru pada hari kedua kekuatan magis dari para leluhur ‘dilibatkan’. “Nah, hari kedua itu disebut dengan upacara Nopatinda Tavanggayu atau mendirikan tiang dari tujuh macam kayu,” ungkap Jido yang mengaku sudah melaksanakan prosesi ini sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Dalam prosesi ini, tujuh macam kayu itu tak hanya sekadar didirikan.

“Di tempat yang akan ditancapkan kayu itu, terlebih dahulu barang lima rupa yakni Uang logam jaman dulu, Paku, Siri, Telur dan Kemiri ditanam di tempat itu, barulah diletakkan kayu itu,” jelasnya seraya memperlihatkan tiang yang telah tertancap di tengah-tengah Bantaya. Dalam prosesi itu, hampir seluruh To Tua adat kesurupan. Bahkan berdasarkan informasi yang diperoleh, saat prosesi ini dijalankan, sejumlah warga yang menghadiri upacara Nopatinda Tavanggayu ini juga ikut kesurupan ruh leluhur.

Di hari ketiga, yang merupakan upacara pamungkas dari prosesi Pompaura, warga telah menyiapkan sebuah perahu berukuran 1 x 3 meter yang hanya terbuat dari pelepah sagu. Perahu itu dirias sedemikian rupa. Namun yang unik dari perahu itu adalah hiasan berbentuk burung yang terbuat dari janur kelapa yang terpancang mengelilingi perahu itu. “Kalau dalam bahasa kaili itu disebut Tonji atau burung. Dalam upacara ini, Tonji-tonji itu bermakna, media yang akan menyampaikan sesajian ini ke pada ruh jahat, agar ruh itu tidak mengganggu manusia,” jelas Ayah tujuh orang putra ini.
Tonji-Tonji (Dalam bahasa Kaili berarti burung) dipinggir perahu sesaji. Burung ini simbol pembawa pesan kepada leluhur

To Tua menyiapkan perahu yang akan dilarung

Sebelum dilarung, para To Tua mendendangkan kidung sembari mengelilingi perahu sesaji
Sebelum perahu itu dihanyutkan ke laut, para to tua adat ini kembali menyenandungkan Baliore. Ketika waktu tepat menunjuk pukul 01.00 dinihari, barulah perahu berisi sesaji itu diarak ke laut kemudian di lepaskan ke sana. “Untuk memilih waktu pelepasan perahu itu ke laut, juga tidak sembarang. Kita menunggu angin yang mengarah ke arah Uventira,” tambahnya. Saat perahu itu telah menjauh ke tengah laut, itu berarti prosesi Pompaura telah selesai dilaksanakan.
Kepala kambing di atas perahu sesaji, sebagai salah satu syarat untuk pelaksanaan ritual
Perahu sesaji diarak menuju teluk Palu

Perahu sesaji siap dilarung
Pemimpin to Tua penuntun ritual

Sayangnya, tradisi semacam ini kerap dimaknai lain. Sebagian orang menilai tradisi balia merupakan ritual yang mengarah ke musyrikan, padahal terlepas apakah itu ada kaitannya dengan religi, tradisi semacam ini harus terus dilestarikan dan bukan dipandang sempit

Location: Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah

No comments:

Post a Comment