Pesan Simbah

MERAJUT KEMBALI EKSISTENSI GERAKAN LSMI CABANG MALANG

Dengan sangat berat hati, saya minta maaf sebesar-besarnya.
Tak bisa hadir di tengah-tengah LSMI.
Yang sedang melangsungkan Latihan Kader Khusus.
Sementara, saya hanya bisa menyumbangkan sekelumit pemikiran-pemikiran, sekaligus benang-benang yang senantiasa mengganggu rasa dan pikiran saya selama ini. 
Lantaran besarnya kecintaan saya kepada LSMI yang mungkin tak bisa ditakar dengan apapaun.

Walaupun saya sadar, selama di LSMI, saya bukanlah komandan terdepan.
Tapi saya berada di manapun LSMI bergerak.
Mulut siapapun yang nyiyir  di depan saya tentang LSMI, tak pakai lama pasti aku tonjok.

LSMI ibarat air, bisa bergerak dan mengisi ruang dan waktu seperti apapun.
Jika tetesan air itu keruh, keruhlah semuanya.

LSMI bergerak dari ruang hati terdalam, dan dari pikiran yang jernih.
Selalu ada cara terindah untuk unjuk gigi dalam gerakan apapun.

LSMI adakah kumpulan kader HMI yang cerdas dan bertalenta
Dengan ramuan LSMI sesuatu yang berasa pahit akan bernilai manis dan bersahaja

MUKTI ALI




KEBERADAAN LSMI
LSMI merupakan bagian dari lembaga pengembangan SDM di tubuh HMI. Dulu lembaga ini menjadi bagian dari lembaga Kekaryaan di HMI. Pada kenyataannya, hampir semua lembaga kekaryaan nyaris sekarat.  Bukan tanpa sebab, karena lembaga kekaryaan dianggap kurang memiliki nilai tawar dan kurang bergengsi di tubuh HMI. Lembaga kekaryaan seperti pelengkap stuktur semata, pun demikian dengan kader yang terdistribusi ke lembaga ini juga hanya untuk kelengkapan struktur saja. Tanpa melihat potensi, kiprah, serta apa yang akan diperbuat ke depan.

Kader yang berada di lembaga kekaryaan ini pun ternyata tak jauh beda. Tak banyak berbuat apa yang seharusnya dilakukan. Mereka cenderung asyik dengan dinamika politik di HMI. Bahkan mereka menjadi simpul-simpul suksesi kala forum demokrasi di HMI datang. Inilah yang mungkin menyebabkan mengapa lembaga kekaryaan menjadi lembaga yang hidupnya tanpa jejak berarti, tiba-tiba mati suri sebelum benar-benar mampus. Tak berlebihan kiranya jika menganggap LSMI dan lembaga kekaryaan lainnya di seperti anak dari buah cinta terlarang.

Sama halnya dengan LSMI yang tidak begitu jauh nasibnya semacam itu. LSMI menjadi tempat berkumpulnya kader bertalenta atau kader yang ingin bertalenta, atau kader yang “hanya pura-pura” bertalenta. Jika tidak ada kekuatan loyalitas organisasi, kekuatan membangkitkan talenta dan ketebalan mental dari dalam dirinya sendiri,  tidak butuh waktu lama, kader-kader ini akan segera berguguran atau mengugurkan lembaga.



LSMI DAN HMI
LSMI lahir dari tubuh HMI. Tanpa HMI, LSMI tak pernah ada. Kita harus menyadari akan hal tersebut. Konon, dalam masa pendirian HMI pada masa Lafran Pane, gerakan HMI lebih banyak pada kegiatan ceramah/diskusi keagamaan dan kegiatan berkesenian. Tidakkah kita bertanya, ada apa dengan berkesenian, dan berkesenian yang seperti apa itu?

HMI adalah organisasi yang dari dulu sampai sekarang penuh sesak dengan muatan politik. Kita tidak bisa menghindar dari hal itu, tetapi harus bersyukur. Karena dengan ilmu politik yang direngkuh di HMI inilah, hingga sejauh ini kita masih berotak encer, insyaAllah sampai akhir hayat menjemput.

Ilmu politik inilah yang kemudian merasuk dalam diri kader LSMI. Ini adalah kenyataan. Kita tidak bisa menghindar,  atau bahkan memberi larangan keras kepada kader LSMI untuk tidak bersentuhan dengan politik di HMI. Bagi saya, ini adalah tindakan konyol.

Kader-kader LSMI, sejauh yang aku tahu, sebagian dari mereka adalah kader yang kurang terakomodir dengan sehat, baik di komisariat, korkom maupun cabang. Beragam sebab yang menjadikan nasib mereka seperti itu. Tetapi, banyak pula kader LSMI yang cukup potensi dan menjadi kader andalan di tiap komisariat dan korkom, bahkan cabang.  Mereka punya aktifitas ganda, bahkan berlipat selain harus berbasah-basahan dalam kubangan LSMI.

Kondisi yang tak memungkinkan kita memberi batasan kepada kader LSMI untuk tidak berpolitik di tubuh HMI atau menawarkan pilihan kepadanya. Mengapa demikian, karena keharusan bagi punggawa LSMI untuk mempertebal loyalitas kepada HMI, bahkan memperuncing ketajaman insting berpolitik mereka. Bukan menjadi kader LSMI yang lantas insting politiknya menjadi tumpul. Akan tetapi, harus diingat jangan sekali-kali mengajak LSMI “bermain topeng” dalam ruang politik HMI. Apalagi dalam tubuh LSMI.




BENANG MERAH LK DAN LAKSUS
Latihan Kader Khusus/Laksus menjadi kebutuhan dalam organisasi yang hidup dan terus bergerak. Laksus sama halnya dengan LK di tingkat komisariat. Kita harus mengaca pada pelaksanaan LK di komisariat, LK yang terjadi selama ini, manurut saya, ibarat menjaring ikan tanpa jaring yang benar, tanpa melihat potensi medan/lautan jauh ke depan, dan tanpa melihat dasar kebutuhan. Makanya, tidak salah jika dalam rekrutmen LK selama ini mungkin menghasilkan ikan teri semua, atau menghasilkan ubur-ubur, atau bahkan menghasilkan ikan cuek (pindang) dalam jumlah besar. Syukur jika menghasilkan dalam jumlah besar, masih ada yang bisa ditawarkan, meskipun ikan teri jika diolah yang benar bisa hasilkan rasa yang mengigit. Akan tetapi, jika cuma sedikit tak berpotensi pula. Inilah yang mengharuskan kerja ekstra keras di HMI. Karena setiap pengurus di HMI punya keharusan dan tanggung jawab membuat kader menjadi loyal, pandai, cerdas dan berinsting kuat.

Kenapa LK senantiasa menghasilkan kader tak berpotensi, sekali lagi, karena proses rekrutmen tiap LK tak pernah membuat peta kebutuhan, tak pernah membuat peta kondisi mahasiswa baru, dan tak pernah membuat peta konsep dalam 5-10 tahun ke depan. Kenapa harus 5-10 th ke depan? Dengan asumsi, 5 tahun adalah masa lambat selama menempuh S1, dan 10 tahun adalah masa ia jika berkarier di HMI, dari komisariat-hingga PB.

Selain itu, kader HMI/pengurus kebanyakan semakin tebal rasa gengsi yang amat tinggi. Enggan bersentuhan bahkan turun langsung ke bawah. Apapun alasannya, saya rasa itu tidak benar, dan gengsi itu tak perlu kian dipertebal. Berjiwa sok pejabat, berjiwa sok pembesar, ini lah salah satu yang merasuk dalam tiap kader HMI, bahkan di tingkat komisariat hal itu sudah mulai terlihat.

Tak perlu jauh-jauh melihat, cukup di komisariat saya, Komisariat MIPA UM yang semakin hari semakin krisis. Entah benar atau salah, yang jelas kondisi kekinian, sudah nyaris tereliminasi. Gerakan penghijauan intra kampus yang tertanam sudah benar-benar mulai gersang. Komisariat sudah cukup gagal melakukan hal itu.

Berhentilah rekrutmen mahasiswa baru dengan cara yang tidak bijak, tidak elegan dan tidak terbuka. Apalagi dengan pola culik, menurut saya itu cara yang amat sangat buruk. Zaman sudah berubah seperti ini, kenapa cara kadaluarsa masih dipertahankan. Dulu cara-cara itu sudah hilang. Tapi kembali lagi masa itu terulang. Dan pola penculikan di tiap komisariat, saya kira masih berlaku.

Kenapa rekrutmen LK harus didahului pemetaan kebutuhan. Kaderisasi di HMI salah satunya dilakukan dengan pendistribusian kader, baik di intra kampus maupun esktra kampus. Jika melihat intra kampus, akan jelas terpampang beragam organisasi di sana. Selain organisasi bakat dan minat, juga ada organisasi keilmuan di tingkat jurusan. Semakin banyak organisasi, semakin banyak pengurusnya, otomatis semakin banyak pula mahasiswa yang kita butuhkan masuk HMI untuk kita jadikan aset berharga. HMI harus punya semangat yang bernyali untuk mengolah mahasiswa baru menjadi kader-kader intelektual di organisasi2 tersebut.

Dan keberadaan lembaga kekaryaan di tubuh HMI, termasuk LSMI, saya yakin kurang dijadikan nilai tawar kepada calon anggota HMI. Mungkin hanya sekedar dilafalkan satu hingga dua kalimat saja, selebihnya pasti banyak ngawurnya. Tak perlu jauh-jauh tanya ke cabang, coba tanya saja ketua komisariat masing-masing, ada tidak kadernya yang siap didistribusikan ke LSMI? Jangankan mendistribusikan kader ke LSMI, kader yang punya potensi seni budaya mungkin juga tidak tahu, kalaupun tahu mungkin tidak pernah tersentuh dan menjadi bagian yang harus diolah di HMI. Bahkan mahasiswa baru yang punya potensi membaca Alquran dengan indah (Qori’) mungkin tak pernah masuk radar pencarian. LSMI harus bisa menampung kader-kader yang demikian, dan masih banyak potensi lainnya.

Laksus, juga tidak jauh berbeda dengan LK. Dalam Laksus, saya pikir perlu dirancang peta kebutuhan, merancang peta kondisi calon kader, dan merancang peta minimal 5-10 tahun ke depan. Untuk Laksus jika belum membuat rancangan samacam itu, saya cukup maklum, ini organisasi yang benar-benar baru, walaupun sudah cukup lama ada.

Ke depan, harapan saya, kader LSMI punya andil besar dalam rekrutmen calon kader dan proses follow up di komisariat masing-masing. Tanpa hal itu, tentu kita akan “cape” selalu memulai LSMI dari titik nol. Walaupun selagi nafas berhembus kita “tak pernah berhenti” melakukannya.

LSMI sudah punya maestro-maestro muda yang cukup handal, Redy Eko Prasetyo, Wahyu Karyawan, dan Abah David Andrea, Fauzi Al Lahji, dan insyallah masih banyak yang lain. Mereka punya segudang bekal yang bisa digali untuk membangkitkan kekuatan perjuangan LSMI. Meskipun kawan-kawan tak harus menjadi seperti mereka, harus ada sesuatu yang baru.

Dengan kalimat lain, gerakan LSMI jangan hanya di dasar lautan, atau di dalam perut bumi. Harus begerak pula ke permukaan. Lihatlah permukaan lautan, dan permukaan bumi, ada beragam kemajuan yang telah terjadi. LSMI harus bisa melahirkan banyak Redy dan sejenisnya.




MATERI LAKSUS
Materi laksus, sepintas yang saya lihat, kesannya cukup wah, menarik, dan sangat berat. Dan menjadi ciri khas HMI. Tetapi mungkin kita perlu memikirkan adanya laksus tingkat dasar, dan laksus tingkat lanjut. Laksus tingkat dasar sebaiknya sebagian besar berisi materi-materi tentang penguatan skill  seni budaya. Sedangkan laksus lanjutan berisi sebagian besar berisi materi penguasaan wawasan/wacana dan sebagian kecil materi pengembangan skill.

Sayangnya dari daftar materi terdahulu, materi jurnalistik dan sub materinya dihapus. Pada sub materi, sebaiknya materi apresiasi seni didahulukan sebelum kritik seni. Kritik seni lebih berat jika dibanding dengan apresiasi seni. Andaikan materi jurnalistik di berikan, mungkin sebaiknya hanya berisi pratik membuat tulisan beserta kerabatnya (fotografi, shoting dan editing video).

Mungkin menulis dipandang bukan bidang kita, lantaran sudah ada lembaga kekaryaan yang menangani hal itu. Tetapi apakah salah jika ini diberikan dalam Laksus LSMI. Justru menjadi kelebihan tersendiri. Karena menulis itu sangat dekat bahkan menjadi bagian dari berkesenian dan bekebudayaan. Dan menulis juga menjadi kebutuhan LSMI.



LSMI DAN MEDIA SOSIAL
Media sosial, menjadi media komunikasi yang semakin hari semakin hot keberadannya. Mulai Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dan lain sebagainya. Mungkin semua kader HMI sudah mengikuti semua, kecuali saya yang masih belum bergaul dan menjadi aktivis di media-media sosial itu, kecuali sekedar facebook yang itupun tidak aktif. LSMI saya kira juga harus bergaul dengan media-media sosial seperti itu.

Melalui media sosial itulah, kita bisa melakukan sosialisasi, kampanye, bahkan bisa mengunggah hasil diskusi yang dilakukan. Apresiasi atau bahkan kritik seni bisa disuguhkan melalui media sosial tersebut. Ini juga menjadi wahana berlatih tersendiri. Selain itu, segala bentuk tingkah pola atau eksistensi LSMI bisa diunggah di sana. Melalui media sosial pula, kita selalu bisa mengukur keberadaan LSMI di tengah masyarakat umum serta masyarakat HMI, serta internal LSMI.


KULTUR LSMI
Berbicara kultur LSMI tentu tak lepas dari keberadaan aktivitas kader di LSMI. Jika LSMI benar-benar hidup, akan berganti dari generasi ke generasi lain pada masanya. Walaupun secara garis besar pada akhirnya mungkin akan melahirkan kultur khas LSMI, entah yang bagaimana itu.

Di situlah, kemungkinan akan lahir kultur yang senantiasa beragam. Keberagaman kultur di LSMI adalah keniscayaan, sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Sebaiknya mungkin ini kita lihat sebagai kelebihan. Selain dipengaruhi perbedaan fisik dan psikis dari generasi terdahulu hingga generasi zaman now, juga dipengaruhi bakat minat, faktor sosial masyarakat kekinian, hingga kebutuhan serta daya juang dari generasi ke generasi yang mungkin berbeda.

Kultur di LSMI sedikit banyak juga akan dipengaruhi kader kadaluarsa/senior. Yang terpenting, adalah antara senior dan yunior, cukup saling tahu diri kapasitas dan posisinya. Dan yang paling utama adalah saling menghargai. Tentu, menghargai ini mungkin ada cara tersendiri di LSMI, yang mungkin tidak umum.

Senior harus lebih bijak dan berlapang dada pada setiap gerakan kader LSMI. Sesuatu yang salah yang dilakukan yunior, akan menjadi tumpukan energi kebangkitan menemukan kebenaran. Lebih baik dia pernah salah, asalkan dia kemudian memperbaikinya. Dan bagi yunior, harus tahu diri akan posisinya. Komunikasi menjadi bagian penting dalam membangun LSMI, jangan mencoba-coba menjadi kader tidak tahu diri, bahkan kader durhaka.

Kultur sekretariat berbeda dengan kultur LSMI. Kultur sekretariat bisa diciptakan dengan membuat sekretariat/ruangan/rumah/base camp yang mampu menunjukkan eksistensi LSMI. Sekretariat yang tanpa sentuhan seni, adalah sekretariat palsu. Bisa dipastikan, orang-orangnya pasti miskin atau pelit eksplorasi potensi yang dimiliki. Jika diberkahi sekretariat, sulaplah sekretariat menjadi base camp yang semenarik mungkin, isi dengan kegiatan yang menjadi magnet bagi semua kader LSMI, termasuk kader HMI.

Di LSMI tidak ada jaminan masa depan. Apakah akan terbentuk grup musik, vokalis, atau pemain teater, atau penulis novel yang mendunia tidak ada jaminan. Masa depan kader LSMI adalah urusan masing-masing. LSMI adalah hanya wadah untuk belajar dan belajar. Di wadah inilah, ada penguatan skill yang bisa di lakukan dan didapatkan, bukan di tunggu.

Kader LSMI telah banyak berkirah dalam ruang yang beragam. Ada politisi, ada pengusaha, ada pegiat seni budaya, dan lain sebagainya. Sebijaknya tak layak mencemo’oh satu sama lain. Semakin kita mencemo’oh profesi orang lain, saya kira semakin menunjukkan rasa iri dan tidak suka. Kalaupun harus mencemo’oh, mungkin cemo’ohlah orang-orang yang telah lupa diri dari mana ia membesarkan diri.

LSMI DAN KARYA SENI
LSMI harus bisa menjadi lembaga yang amat berharga dan disegani. Menjadi berharga dan disegani tentu karena karyanya atau menghasilkan orang-orang yang sangat kompeten dalam bidang tersebut. Beberapa karya seni budaya di LSMI saya pikir cukup lumayan. LSMI tiap tahun harus mengusung target untuk meghasilkan karya. Sehingga tiap tahun ada dokumen yang dihasilkan, sebagai wujud LSMI benar-benar hidup.

Sayangnya menghargai karya satu sama lain di LSMI masih amat kurang. Tak perlu mencari-cari alasan kenapa. Alasannya cukup jelas, lantaran jiwa HMI masih sangat kental dan kuat. Coba di lihat berapa banyak lagu-lagu karya David Andrea, Intje Mochammad Mustaqim Dahlan, Fauzi Al Lahji, dan lain sebagainya. Kemana karya-karya itu? Nyaris terdampar di lembah yang enggan disentuh. 

LSMI harus bisa merawat karya-karya tersebut. Untuk lagu-lagu, saya kira bisa didaur ulang dengan aransement baru dengan komposisi personil yang baru. Adalah wajib saya kira mengumandangkan lagu-lagu tersebut di ruang LSMI, tinggal diatur waktunya saja.  Tetapi saya kira jangan hanya mendendangkan semata, pelajari juga chord-chord, nada dan melodinya, pelajari juga jika ada latar belakang dalam penciptaan lagu tersebut.

PERTUNJUKAN KARYA
Pertunjukan karya merupakan bagian dari kebutuhan eksistensi LSMI. Memproses LSMI harus diimbangi penciptaan atau pencarian ruang unjuk gigi/ruang karya. Ruang unjuk gigi, bisa dilakukan di rumah sendiri/sekretariat LSMI atau di lingkungan HMI dan KAHMI, dan di ruang masyarakat umum. Jika di rumah sendiri, maka diperlukan penciptaan rumah yang bisa menjadi wadah eksplorasi karya, baik musik, vokal, rupa, thetater maupun bentuk seni yang lain.

Saya selalu menganalogikakan, bahwa LSMI merupakan sebuah kamar kecil yang berada di dalam rumah besar. Rumah besar itu tak lain adalah HMI. Di dalamnya terdapat beragam kamar dan ruangan  yang salah satunya adalah ruangan untuk LSMI. Di luar rumah itu hingga jalan raya, merupakan istana KAHMI.

Jika selama ini eksistensi hanya ditunjukkan di rumah HMI, artinya kita masih belum bisa ke luar rumah. Kita masih menjadi jago kandang. Demikian halnya jika pertunjukan hanya di lakukan di lingkungan KAHMI, berapapaun kilometer jauhnya, kita masih menjadi jago kandang. LSMI perlu membuka mata dan melebarkan langkah menjangkau yang lebih jauh. Benchmarking dengan berbagai komunitas seni budaya sangat di perlukan, bahkan bersaing dalam sebuah kompetisi.

Ruang berproses juga terbentang lebar. Jangan terhenti dengan alasan tak punya ruang kreativitas. Termasuk peralatan, LSMI harus cerdas, untuk memainkan alat yang menghasilkan karya seni harus dicoba tidak selalu beli dan mahal. Kreativitas dari barang bekas akan lebih berharga. Dan mungkin menjadi terobosan tersendiri. Sedangkan ruang untuk berproses bisa di manapun, di jalanan pun bisa, dengan mengamen misalnya. Selama ini ngamen hanya identik dengan pertunjukan musik. Tidakkah untuk seni yang lain bisa diproses dengan mengamen, saya kira bisa. Bisa dikolaborasi seni, vokal, teater, rupa dalam satu kemasan pertunjukan. Mengamen sangat vital dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional dan mental, selain menjadi ajang eksistensi LSMI.

LSMI DAN RISET SOSIAL BUDAYA
Dalam gerakan sosial budaya LSMIA sudah punya senior yang sangat nyata, Redy Eko Prasetyo dan Fauzi Al Lahji. Dengan potensi seni yang ia miliki ia telah menumpahkan kepada masyarakat yang nyata dan lebih luas. Untuk eksistensi, saya pikir LSMI harus bisa melakukan gerakan yang minimal seperti itu. Punya kantung-kantung/desa/sekolah percontohan/pembinaan.

Misal untuk desa/kampung percontohan, bisa dilakukan dengan mengumpulkan generasi muda potensi/tua muda. Potensi bisa dalam hal musik, vokal, teater, rupa, dan lain sebagainya. Bisa juga menggagas bentuk alat musik baru dari barang bekas. Selain melakukan gerakan tersebut, LSMI saya kira juga harus mencoba melakukan riset budaya masyarakat setempat. Atau melakukan riset budaya di kampung-kampung yang telah diinisiasi Redy. Dari riset ringan yang dilakukan, bisa menjadi satu tulisan dan bisa menjadi bahan kajian tersendiri. Tulisan itu pun bisa dipublish di berbagai media, atau media sosial milik sendiri. Tak perlu muluk-muluk, satu tahun menghasilkan satu desa yang ter-riset sudah cukup bagus.

LSMI DAN RUANG BACA
Selain menciptakan desa/komunitas percontohan, saya kira LSMI juga perlu mengagas rumah baca. Ini menjadi bagian gerakan LSMI yang tak lepas dari intelektualitas, dan intelektualitas salah satunya bisa ditunjukkan dengan adanya ruang baca.

Jika harus menciptakan ruang baca, mungkin harus terpisah dengan sekretariat. Ruang baca ini jadikan wahana mendekatkan diri pada masyarakat umum/anak-anak remaja dan orang tua. Selain menjadi wahana kader LSMI sendiri. Secara legalitas ruang baca bisa diberi nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM).  TBM bisa membuat beragam program dan kegiatan. Di TBM inilah kader-kader yang bisa membaca Alquran dengan indah bisa didistribusikan sebagai instruktur.

Jika memang akan mendirikan TBM, prosedur dan persyaratan bisa tanya ke dinas pendidikan setempat. Jika serius, dalam setahun mungkin bisa membuat TBM yang benar-benar handal, karena kader HMI tak pernah kehabisan cara. TBM yang legal dan telah beroperasi melayani masyarakat dari kebodohan insyallah bisa menggali dana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tiap tahun insyallah ada lomba lembaga dan lomba pengelolanya, dan itu terpisah. Jika pengelola TBM bisa memenangi lomba tingkat nasional, bukan tidak mungkin akan mendapat banyak undangan mengisi materi di berbagai forum. Bahkan studi banding ke luar negeri.


TBM ini saya pikir bisa menjadi cara bagaimana peran HMI di masyarakat dalam mengentaskan kebodohan melalui seni-budaya. Secara payung hukum kelembagaan, saya kira TBM bisa berdiri di bawa naungan LSMI meskipun nanti pengurus TBM adalah senior-senior LSMI minimal ketua/pengelolanya. Dalam struktur, LSMI berperan sebagai pengarah. Jika ini bisa terealisasi, usul saya untuk pengelola/ketua TBM percayakan kepada David Andrea/Toha Nur Yance. Atau bisa keduanya di tempat terpisah. TBM ini bisa juga menjadi ruang dokumen karya kader-kader LSMI. *** (MA)

No comments:

Post a Comment