MERAJUT KEMBALI EKSISTENSI GERAKAN
LSMI CABANG MALANG
Dengan sangat berat hati, saya minta
maaf sebesar-besarnya.
Tak bisa hadir di tengah-tengah LSMI.
Yang sedang melangsungkan Latihan
Kader Khusus.
Sementara, saya hanya bisa
menyumbangkan sekelumit pemikiran-pemikiran, sekaligus benang-benang yang
senantiasa mengganggu rasa dan pikiran saya selama ini.
Lantaran besarnya kecintaan saya kepada LSMI yang mungkin tak bisa ditakar dengan apapaun.
Lantaran besarnya kecintaan saya kepada LSMI yang mungkin tak bisa ditakar dengan apapaun.
Walaupun saya sadar, selama di LSMI,
saya bukanlah komandan terdepan.
Tapi saya berada di manapun LSMI
bergerak.
Mulut siapapun yang nyiyir di depan saya tentang LSMI, tak pakai lama pasti aku tonjok.
LSMI ibarat air, bisa bergerak dan
mengisi ruang dan waktu seperti apapun.
Jika tetesan air itu keruh, keruhlah
semuanya.
LSMI bergerak dari ruang hati
terdalam, dan dari pikiran yang jernih.
Selalu ada cara terindah untuk unjuk
gigi dalam gerakan apapun.
LSMI adakah kumpulan kader HMI yang
cerdas dan bertalenta
Dengan ramuan LSMI sesuatu yang
berasa pahit akan bernilai manis dan bersahaja
MUKTI ALI
KEBERADAAN LSMI
LSMI merupakan bagian dari lembaga pengembangan SDM di tubuh HMI. Dulu
lembaga ini menjadi bagian dari lembaga Kekaryaan di HMI. Pada kenyataannya,
hampir semua lembaga kekaryaan nyaris sekarat. Bukan tanpa sebab, karena lembaga kekaryaan
dianggap kurang memiliki nilai tawar dan kurang bergengsi di tubuh HMI. Lembaga
kekaryaan seperti pelengkap stuktur semata, pun demikian dengan kader yang
terdistribusi ke lembaga ini juga hanya untuk kelengkapan struktur saja. Tanpa
melihat potensi, kiprah, serta apa yang akan diperbuat ke depan.
Kader yang berada di lembaga kekaryaan ini pun ternyata tak jauh beda.
Tak banyak berbuat apa yang seharusnya dilakukan. Mereka cenderung asyik dengan
dinamika politik di HMI. Bahkan mereka menjadi simpul-simpul suksesi kala forum
demokrasi di HMI datang. Inilah yang mungkin menyebabkan mengapa lembaga
kekaryaan menjadi lembaga yang hidupnya tanpa jejak berarti, tiba-tiba mati
suri sebelum benar-benar mampus. Tak berlebihan kiranya jika menganggap LSMI
dan lembaga kekaryaan lainnya di seperti anak dari buah cinta terlarang.
Sama halnya dengan LSMI yang tidak begitu jauh nasibnya semacam itu.
LSMI menjadi tempat berkumpulnya kader bertalenta atau kader yang ingin
bertalenta, atau kader yang “hanya pura-pura” bertalenta. Jika tidak ada
kekuatan loyalitas organisasi, kekuatan membangkitkan talenta dan ketebalan
mental dari dalam dirinya sendiri, tidak
butuh waktu lama, kader-kader ini akan segera berguguran atau mengugurkan
lembaga.
LSMI DAN HMI
LSMI lahir dari tubuh HMI. Tanpa HMI, LSMI tak pernah ada. Kita harus
menyadari akan hal tersebut. Konon, dalam masa pendirian HMI pada masa Lafran
Pane, gerakan HMI lebih banyak pada kegiatan ceramah/diskusi keagamaan dan
kegiatan berkesenian. Tidakkah kita bertanya, ada apa dengan berkesenian, dan
berkesenian yang seperti apa itu?
HMI adalah organisasi yang dari dulu sampai sekarang penuh sesak dengan
muatan politik. Kita tidak bisa menghindar dari hal itu, tetapi harus
bersyukur. Karena dengan ilmu politik yang direngkuh di HMI inilah, hingga
sejauh ini kita masih berotak encer, insyaAllah sampai akhir hayat menjemput.
Ilmu politik inilah yang kemudian merasuk dalam diri kader LSMI. Ini
adalah kenyataan. Kita tidak bisa menghindar, atau bahkan memberi larangan keras kepada
kader LSMI untuk tidak bersentuhan dengan politik di HMI. Bagi saya, ini adalah
tindakan konyol.
Kader-kader LSMI, sejauh yang aku tahu, sebagian dari mereka adalah
kader yang kurang terakomodir dengan sehat, baik di komisariat, korkom maupun
cabang. Beragam sebab yang menjadikan nasib mereka seperti itu. Tetapi, banyak
pula kader LSMI yang cukup potensi dan menjadi kader andalan di tiap komisariat
dan korkom, bahkan cabang. Mereka punya
aktifitas ganda, bahkan berlipat selain harus berbasah-basahan dalam kubangan
LSMI.
Kondisi yang tak memungkinkan kita memberi batasan kepada kader LSMI
untuk tidak berpolitik di tubuh HMI atau menawarkan pilihan kepadanya. Mengapa
demikian, karena keharusan bagi punggawa LSMI untuk mempertebal loyalitas
kepada HMI, bahkan memperuncing ketajaman insting berpolitik mereka. Bukan
menjadi kader LSMI yang lantas insting politiknya menjadi tumpul. Akan tetapi, harus
diingat jangan sekali-kali mengajak LSMI “bermain topeng” dalam ruang politik
HMI. Apalagi dalam tubuh LSMI.
BENANG MERAH LK DAN
LAKSUS
Latihan Kader Khusus/Laksus menjadi kebutuhan dalam organisasi yang
hidup dan terus bergerak. Laksus sama halnya dengan LK di tingkat komisariat.
Kita harus mengaca pada pelaksanaan LK di komisariat, LK yang terjadi selama
ini, manurut saya, ibarat menjaring ikan tanpa jaring yang benar, tanpa melihat
potensi medan/lautan jauh ke depan, dan tanpa melihat dasar kebutuhan. Makanya,
tidak salah jika dalam rekrutmen LK selama ini mungkin menghasilkan ikan teri
semua, atau menghasilkan ubur-ubur, atau bahkan menghasilkan ikan cuek
(pindang) dalam jumlah besar. Syukur jika menghasilkan dalam jumlah besar,
masih ada yang bisa ditawarkan, meskipun ikan teri jika diolah yang benar bisa
hasilkan rasa yang mengigit. Akan tetapi, jika cuma sedikit tak berpotensi
pula. Inilah yang mengharuskan kerja ekstra keras di HMI. Karena setiap
pengurus di HMI punya keharusan dan tanggung jawab membuat kader menjadi loyal,
pandai, cerdas dan berinsting kuat.
Kenapa LK senantiasa menghasilkan kader tak berpotensi, sekali lagi, karena
proses rekrutmen tiap LK tak pernah membuat peta kebutuhan, tak pernah membuat
peta kondisi mahasiswa baru, dan tak pernah membuat peta konsep dalam 5-10
tahun ke depan. Kenapa harus 5-10 th ke depan? Dengan asumsi, 5 tahun adalah
masa lambat selama menempuh S1, dan 10 tahun adalah masa ia jika berkarier di
HMI, dari komisariat-hingga PB.
Selain itu, kader HMI/pengurus kebanyakan semakin tebal rasa gengsi yang
amat tinggi. Enggan bersentuhan bahkan turun langsung ke bawah. Apapun
alasannya, saya rasa itu tidak benar, dan gengsi itu tak perlu kian dipertebal.
Berjiwa sok pejabat, berjiwa sok pembesar, ini lah salah satu yang merasuk
dalam tiap kader HMI, bahkan di tingkat komisariat hal itu sudah mulai
terlihat.
Tak perlu jauh-jauh melihat, cukup di komisariat saya, Komisariat MIPA
UM yang semakin hari semakin krisis. Entah benar atau salah, yang jelas kondisi
kekinian, sudah nyaris tereliminasi. Gerakan penghijauan intra kampus yang
tertanam sudah benar-benar mulai gersang. Komisariat sudah cukup gagal
melakukan hal itu.
Berhentilah rekrutmen mahasiswa baru dengan cara yang tidak bijak, tidak
elegan dan tidak terbuka. Apalagi dengan pola culik, menurut saya itu cara yang
amat sangat buruk. Zaman sudah berubah seperti ini, kenapa cara kadaluarsa
masih dipertahankan. Dulu cara-cara itu sudah hilang. Tapi kembali lagi masa itu terulang. Dan pola penculikan di tiap komisariat, saya kira masih berlaku.
Kenapa rekrutmen LK harus didahului pemetaan kebutuhan. Kaderisasi di
HMI salah satunya dilakukan dengan pendistribusian kader, baik di intra kampus
maupun esktra kampus. Jika melihat intra kampus, akan jelas terpampang beragam
organisasi di sana. Selain organisasi bakat dan minat, juga ada organisasi
keilmuan di tingkat jurusan. Semakin banyak organisasi, semakin banyak
pengurusnya, otomatis semakin banyak pula mahasiswa yang kita butuhkan masuk
HMI untuk kita jadikan aset berharga. HMI harus punya semangat yang bernyali
untuk mengolah mahasiswa baru menjadi kader-kader intelektual di organisasi2
tersebut.
Dan keberadaan lembaga kekaryaan di tubuh HMI, termasuk LSMI, saya yakin
kurang dijadikan nilai tawar kepada calon anggota HMI. Mungkin hanya sekedar
dilafalkan satu hingga dua kalimat saja, selebihnya pasti banyak ngawurnya. Tak
perlu jauh-jauh tanya ke cabang, coba tanya saja ketua komisariat
masing-masing, ada tidak kadernya yang siap didistribusikan ke LSMI? Jangankan
mendistribusikan kader ke LSMI, kader yang punya potensi seni budaya mungkin
juga tidak tahu, kalaupun tahu mungkin tidak pernah tersentuh dan menjadi
bagian yang harus diolah di HMI. Bahkan mahasiswa baru yang punya potensi
membaca Alquran dengan indah (Qori’) mungkin tak pernah masuk radar pencarian.
LSMI harus bisa menampung kader-kader yang demikian, dan masih banyak potensi
lainnya.
Laksus, juga tidak jauh berbeda dengan LK. Dalam Laksus, saya pikir
perlu dirancang peta kebutuhan, merancang peta kondisi calon kader, dan
merancang peta minimal 5-10 tahun ke depan. Untuk Laksus jika belum membuat
rancangan samacam itu, saya cukup maklum, ini organisasi yang benar-benar baru,
walaupun sudah cukup lama ada.
Ke depan, harapan saya, kader LSMI punya andil besar dalam rekrutmen
calon kader dan proses follow up di
komisariat masing-masing. Tanpa hal itu, tentu kita akan “cape” selalu memulai
LSMI dari titik nol. Walaupun selagi nafas berhembus kita “tak pernah berhenti”
melakukannya.
LSMI sudah punya maestro-maestro muda yang cukup handal, Redy Eko Prasetyo,
Wahyu Karyawan, dan Abah David Andrea, Fauzi Al Lahji, dan insyallah masih banyak
yang lain. Mereka punya segudang bekal yang bisa digali untuk membangkitkan
kekuatan perjuangan LSMI. Meskipun kawan-kawan tak harus menjadi seperti
mereka, harus ada sesuatu yang baru.
Dengan kalimat lain, gerakan LSMI jangan hanya di dasar lautan, atau di
dalam perut bumi. Harus begerak pula ke permukaan. Lihatlah permukaan lautan,
dan permukaan bumi, ada beragam kemajuan yang telah terjadi. LSMI harus bisa
melahirkan banyak Redy dan sejenisnya.
MATERI LAKSUS
Materi laksus, sepintas yang saya lihat, kesannya cukup wah, menarik,
dan sangat berat. Dan menjadi ciri khas HMI. Tetapi mungkin kita perlu
memikirkan adanya laksus tingkat dasar, dan laksus tingkat lanjut. Laksus
tingkat dasar sebaiknya sebagian besar berisi materi-materi tentang penguatan
skill seni budaya. Sedangkan laksus
lanjutan berisi sebagian besar berisi materi penguasaan wawasan/wacana dan
sebagian kecil materi pengembangan skill.
Sayangnya dari daftar materi terdahulu, materi jurnalistik dan sub
materinya dihapus. Pada sub materi, sebaiknya materi apresiasi seni didahulukan
sebelum kritik seni. Kritik seni lebih berat jika dibanding dengan apresiasi
seni. Andaikan materi jurnalistik di berikan, mungkin sebaiknya hanya berisi
pratik membuat tulisan beserta kerabatnya (fotografi, shoting dan editing
video).
Mungkin menulis dipandang bukan bidang kita, lantaran sudah ada lembaga
kekaryaan yang menangani hal itu. Tetapi apakah salah jika ini diberikan dalam
Laksus LSMI. Justru menjadi kelebihan tersendiri. Karena menulis itu sangat
dekat bahkan menjadi bagian dari berkesenian dan bekebudayaan. Dan menulis juga
menjadi kebutuhan LSMI.
LSMI DAN MEDIA SOSIAL
Media sosial, menjadi media komunikasi yang semakin hari semakin hot keberadannya. Mulai Facebook, Instagram, Twitter, Youtube,
dan lain sebagainya. Mungkin semua kader HMI sudah mengikuti semua, kecuali
saya yang masih belum bergaul dan menjadi aktivis di media-media sosial itu,
kecuali sekedar facebook yang itupun tidak aktif. LSMI saya kira juga harus
bergaul dengan media-media sosial seperti itu.
Melalui media sosial itulah, kita bisa melakukan sosialisasi, kampanye,
bahkan bisa mengunggah hasil diskusi yang dilakukan. Apresiasi atau bahkan kritik
seni bisa disuguhkan melalui media sosial tersebut. Ini juga menjadi wahana
berlatih tersendiri. Selain itu, segala bentuk tingkah pola atau eksistensi
LSMI bisa diunggah di sana. Melalui media sosial pula, kita selalu bisa
mengukur keberadaan LSMI di tengah masyarakat umum serta masyarakat HMI, serta
internal LSMI.
KULTUR LSMI
Berbicara kultur LSMI tentu tak lepas dari keberadaan aktivitas kader di
LSMI. Jika LSMI benar-benar hidup, akan berganti dari generasi ke generasi lain
pada masanya. Walaupun secara garis besar pada akhirnya mungkin akan melahirkan
kultur khas LSMI, entah yang bagaimana itu.
Di situlah, kemungkinan akan lahir kultur yang senantiasa beragam. Keberagaman
kultur di LSMI adalah keniscayaan, sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Sebaiknya
mungkin ini kita lihat sebagai kelebihan. Selain dipengaruhi perbedaan fisik
dan psikis dari generasi terdahulu hingga generasi zaman now, juga dipengaruhi bakat minat, faktor sosial masyarakat
kekinian, hingga kebutuhan serta daya juang dari generasi ke generasi yang
mungkin berbeda.
Kultur di LSMI sedikit banyak juga akan dipengaruhi kader
kadaluarsa/senior. Yang terpenting, adalah antara senior dan yunior, cukup
saling tahu diri kapasitas dan posisinya. Dan yang paling utama adalah saling menghargai.
Tentu, menghargai ini mungkin ada cara tersendiri di LSMI, yang mungkin tidak
umum.
Senior harus lebih bijak dan berlapang dada pada setiap gerakan kader
LSMI. Sesuatu yang salah yang dilakukan yunior, akan menjadi tumpukan energi
kebangkitan menemukan kebenaran. Lebih baik dia pernah salah, asalkan dia
kemudian memperbaikinya. Dan bagi yunior, harus tahu diri akan posisinya.
Komunikasi menjadi bagian penting dalam membangun LSMI, jangan mencoba-coba
menjadi kader tidak tahu diri, bahkan kader durhaka.
Kultur sekretariat berbeda dengan kultur LSMI. Kultur sekretariat bisa
diciptakan dengan membuat sekretariat/ruangan/rumah/base camp yang mampu
menunjukkan eksistensi LSMI. Sekretariat yang tanpa sentuhan seni, adalah
sekretariat palsu. Bisa dipastikan, orang-orangnya pasti miskin atau pelit
eksplorasi potensi yang dimiliki. Jika diberkahi sekretariat, sulaplah
sekretariat menjadi base camp yang semenarik mungkin, isi dengan kegiatan yang
menjadi magnet bagi semua kader LSMI, termasuk kader HMI.
Di LSMI tidak ada jaminan masa depan. Apakah akan terbentuk grup musik,
vokalis, atau pemain teater, atau penulis novel yang mendunia tidak ada jaminan.
Masa depan kader LSMI adalah urusan masing-masing. LSMI adalah hanya wadah
untuk belajar dan belajar. Di wadah inilah, ada penguatan skill yang bisa di
lakukan dan didapatkan, bukan di tunggu.
Kader LSMI telah banyak berkirah dalam ruang yang beragam. Ada politisi,
ada pengusaha, ada pegiat seni budaya, dan lain sebagainya. Sebijaknya tak
layak mencemo’oh satu sama lain. Semakin kita mencemo’oh profesi orang lain,
saya kira semakin menunjukkan rasa iri dan tidak suka. Kalaupun harus
mencemo’oh, mungkin cemo’ohlah orang-orang yang telah lupa diri dari mana ia
membesarkan diri.
LSMI DAN KARYA SENI
LSMI harus bisa menjadi lembaga yang amat berharga dan disegani. Menjadi
berharga dan disegani tentu karena karyanya atau menghasilkan orang-orang yang
sangat kompeten dalam bidang tersebut. Beberapa karya seni budaya di LSMI saya
pikir cukup lumayan. LSMI tiap tahun harus mengusung target untuk meghasilkan
karya. Sehingga tiap tahun ada dokumen yang dihasilkan, sebagai wujud LSMI
benar-benar hidup.
Sayangnya menghargai karya satu sama lain di LSMI masih amat kurang. Tak
perlu mencari-cari alasan kenapa. Alasannya cukup jelas, lantaran jiwa HMI
masih sangat kental dan kuat. Coba di lihat berapa banyak lagu-lagu karya David
Andrea, Intje Mochammad Mustaqim Dahlan, Fauzi Al Lahji, dan lain sebagainya. Kemana karya-karya
itu? Nyaris terdampar di lembah yang enggan disentuh.
LSMI harus bisa merawat karya-karya tersebut. Untuk lagu-lagu, saya kira bisa didaur ulang dengan aransement baru dengan komposisi personil yang baru. Adalah wajib saya kira mengumandangkan lagu-lagu tersebut di ruang LSMI, tinggal diatur waktunya saja. Tetapi saya kira jangan hanya mendendangkan semata, pelajari juga chord-chord, nada dan melodinya, pelajari juga jika ada latar belakang dalam penciptaan lagu tersebut.
LSMI harus bisa merawat karya-karya tersebut. Untuk lagu-lagu, saya kira bisa didaur ulang dengan aransement baru dengan komposisi personil yang baru. Adalah wajib saya kira mengumandangkan lagu-lagu tersebut di ruang LSMI, tinggal diatur waktunya saja. Tetapi saya kira jangan hanya mendendangkan semata, pelajari juga chord-chord, nada dan melodinya, pelajari juga jika ada latar belakang dalam penciptaan lagu tersebut.
PERTUNJUKAN KARYA
Pertunjukan karya merupakan bagian dari kebutuhan eksistensi LSMI.
Memproses LSMI harus diimbangi penciptaan atau pencarian ruang unjuk gigi/ruang
karya. Ruang unjuk gigi, bisa dilakukan di rumah sendiri/sekretariat LSMI atau
di lingkungan HMI dan KAHMI, dan di ruang masyarakat umum. Jika di rumah
sendiri, maka diperlukan penciptaan rumah yang bisa menjadi wadah eksplorasi
karya, baik musik, vokal, rupa, thetater maupun bentuk seni yang lain.
Saya selalu menganalogikakan, bahwa LSMI merupakan sebuah kamar kecil
yang berada di dalam rumah besar. Rumah besar itu tak lain adalah HMI. Di
dalamnya terdapat beragam kamar dan ruangan
yang salah satunya adalah ruangan untuk LSMI. Di luar rumah itu hingga
jalan raya, merupakan istana KAHMI.
Jika selama ini eksistensi hanya ditunjukkan di rumah HMI, artinya kita
masih belum bisa ke luar rumah. Kita masih menjadi jago kandang. Demikian
halnya jika pertunjukan hanya di lakukan di lingkungan KAHMI, berapapaun
kilometer jauhnya, kita masih menjadi jago kandang. LSMI perlu membuka mata dan
melebarkan langkah menjangkau yang lebih jauh. Benchmarking dengan berbagai komunitas seni budaya sangat di
perlukan, bahkan bersaing dalam sebuah kompetisi.
Ruang berproses juga terbentang lebar. Jangan terhenti dengan alasan tak
punya ruang kreativitas. Termasuk peralatan, LSMI harus cerdas, untuk memainkan
alat yang menghasilkan karya seni harus dicoba tidak selalu beli dan mahal.
Kreativitas dari barang bekas akan lebih berharga. Dan mungkin menjadi
terobosan tersendiri. Sedangkan ruang untuk berproses bisa di manapun, di
jalanan pun bisa, dengan mengamen misalnya. Selama ini ngamen hanya
identik dengan pertunjukan musik. Tidakkah untuk seni yang lain bisa diproses
dengan mengamen, saya kira bisa. Bisa dikolaborasi seni, vokal, teater, rupa dalam
satu kemasan pertunjukan. Mengamen sangat vital dalam rangka meningkatkan kompetensi
profesional dan mental, selain menjadi ajang eksistensi LSMI.
LSMI DAN RISET SOSIAL BUDAYA
Dalam gerakan sosial budaya LSMIA sudah punya senior yang sangat nyata,
Redy Eko Prasetyo dan Fauzi Al Lahji. Dengan potensi seni yang ia miliki ia
telah menumpahkan kepada masyarakat yang nyata dan lebih luas. Untuk
eksistensi, saya pikir LSMI harus bisa melakukan gerakan yang minimal seperti
itu. Punya kantung-kantung/desa/sekolah percontohan/pembinaan.
Misal untuk desa/kampung percontohan, bisa dilakukan dengan mengumpulkan
generasi muda potensi/tua muda. Potensi bisa dalam hal musik, vokal, teater,
rupa, dan lain sebagainya. Bisa juga menggagas bentuk alat musik baru dari
barang bekas. Selain melakukan gerakan tersebut, LSMI saya kira juga harus
mencoba melakukan riset budaya masyarakat setempat. Atau melakukan riset budaya
di kampung-kampung yang telah diinisiasi Redy. Dari riset ringan yang
dilakukan, bisa menjadi satu tulisan dan bisa menjadi bahan kajian tersendiri.
Tulisan itu pun bisa dipublish di berbagai media, atau media sosial milik
sendiri. Tak perlu muluk-muluk, satu tahun menghasilkan satu desa yang ter-riset
sudah cukup bagus.
LSMI DAN RUANG BACA
Selain menciptakan desa/komunitas percontohan, saya kira LSMI juga perlu
mengagas rumah baca. Ini menjadi bagian gerakan LSMI yang tak lepas dari
intelektualitas, dan intelektualitas salah satunya bisa ditunjukkan dengan
adanya ruang baca.
Jika harus menciptakan ruang baca, mungkin harus terpisah dengan
sekretariat. Ruang baca ini jadikan wahana mendekatkan diri pada masyarakat
umum/anak-anak remaja dan orang tua. Selain menjadi wahana kader LSMI sendiri.
Secara legalitas ruang baca bisa diberi nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM). TBM bisa membuat beragam program dan
kegiatan. Di TBM inilah kader-kader yang bisa membaca Alquran dengan indah bisa
didistribusikan sebagai instruktur.
Jika memang akan mendirikan TBM, prosedur dan persyaratan bisa tanya ke
dinas pendidikan setempat. Jika serius, dalam setahun mungkin bisa membuat TBM
yang benar-benar handal, karena kader HMI tak pernah kehabisan cara. TBM yang
legal dan telah beroperasi melayani masyarakat dari kebodohan insyallah bisa
menggali dana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tiap tahun insyallah
ada lomba lembaga dan lomba pengelolanya, dan itu terpisah. Jika pengelola TBM
bisa memenangi lomba tingkat nasional, bukan tidak mungkin akan mendapat banyak
undangan mengisi materi di berbagai forum. Bahkan studi banding ke luar negeri.
TBM ini saya pikir bisa menjadi cara bagaimana peran HMI di masyarakat
dalam mengentaskan kebodohan melalui seni-budaya. Secara payung hukum
kelembagaan, saya kira TBM bisa berdiri di bawa naungan LSMI meskipun nanti
pengurus TBM adalah senior-senior LSMI minimal ketua/pengelolanya. Dalam struktur,
LSMI berperan sebagai pengarah. Jika ini bisa terealisasi, usul saya untuk
pengelola/ketua TBM percayakan kepada David Andrea/Toha Nur Yance. Atau bisa
keduanya di tempat terpisah. TBM ini bisa juga menjadi ruang dokumen
karya kader-kader LSMI. *** (MA)
No comments:
Post a Comment